Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, Lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas.[1] Sebagai wujud dari penghargaan terhadap orang lanjut usia, pemerintah membentuk Komnas Lansia (Komisi Nasional Perlindungan Penduduk Lanjut Usia), dan merancang Rencana Aksi Nasional Lanjut Usia di bawah koordinasi kantor Menko Kesra. Komnas Lansia dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 52 tahun 2004 dan bertugas sebagai koordinator usaha peningkatan kesejahteraan sosial orang lanjut usia di Indonesia.[2]
Pemerintah daerah memperingati Hari Lansia dengan kegiatan yang melibatkan orang lanjut usia, seperti acara senam bersama, berbagai perlombaan, dan penyerahan paket bantuan bagi orang lanjut usia. Selain itu, Hari Lansia juga diperingati dengan mengadakan seminar dan diskusi bertemakan orang lanjut usia.
HUKUM DAN ETIKA DALAM PELAYANAN GERIATRI
PENDAHULUAN
Dalam bidang geriatri, masalah etika (termasuk hukum) sangat penting artinya, bahkan diantara berbagai cabang kedokteran mungkin pada cabang inilah etika dan hukum paling berperan. Kane (1994) dkk menyatakan : ”.... ethic is fundamental part of geriatrics. While it is central to the practice of medicine it self, the dependent nature of geriatric patients, makes it a special concern.............”.
Bebagai hal yang sangat perlu diperhatikan adalah, antara lain, keputusan tentang mati hidup penderita. Apakah pengobatan diteruskan atau dihentikan. Apakah perlu tindakan resusitasi. Apakah makanan tambahan per infuse tetap diberikan pada penderita kondisi yang sudah jelas akan meninggal? Dalam geriatric aspek etika ini erat dengan aspek hokum, sehingga pembicaraan mengenai kedua aspek ini sering disatukan dalam satu pembicaraan. Aspek hokum penderita denagn kemampuan kognitif yang sudah sangat rendah seperti pada penderita dementia sangat erat kaitannya dengan segi etik. Antara lain berbagai hal mengenai pengurusan harta benda enderita lansia yang tidak mempunyai anak dan lain sebagainya.
Beberapa hal tersebut perlu mendapatkan perhatian di Indonesia, Dimana giriatri merupakan bidang ilmu yang baru saja mulai berkembang. Oleh karena itu, beberapa dari prinsip etika yang dikemukakan berikut ini sering belum terdapat / dilaksanakan di Indonesia. Pengertian dan pengetahuan mengenai hal ini akan memberi gambaran bagaimana seharusnya masalah etika dan hukum pada perumatan penderita lanjut usi diberlakukan.
PRINSIP ETIKA PELAYANAN KESEHATAN PADA LANSIA
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
•
Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
•
Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.
•
Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
•
Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
•
Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang penderita.
Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan otonomi, Meier dan Cassel menulis sebagai berikut : ”..............although the medical community has ferquently been attacked for its attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism can be justified if certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained for the person outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if the person is too ill to choose the same intervention…………………………”.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, asek etika pada pelayanan geriatric berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai berikut :
1.
penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat sukarela.
2.
keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
3.
keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hokum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label iagnosis, antara lain terlihat dari :
•
apakan penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?
•
dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?
•
apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar) ?
•
apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula berbagai pilihan yang ada) ?
pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik, sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah terdapat gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita.
Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
•
realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut demikian berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan bisa dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission maker.
•
Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).
Dalam kenyatannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan de-jure oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering melelahkan baik secara fisik maupun emosional.
Oleh Karen suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian, kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita mengambil keputusan yang salah ( antara lain menolak tramfusi / tindakan bedah yagn live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita tetap harus dihargai.
Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua keluhan atau alas an penderita dan kalau mungkin memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut pertimbangan dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita.
ARAHAN KEINGINAN PENDERITA (ADVANCE DIRECTIVES) (Reuben et al, 1996, Kane et al, 1994)
Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang diucapkan pada saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yagn baik. Arahan keinginan yang diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian digunakan sebagai pedoman bilamana diperlukan untuk pengam,bilan keputusan pada saat kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun. Bahkan apabila arahan tersebut tidak dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan hukum, asalkan terdapat saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut diucapkan.
Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa yang disebut sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu pernyataan dari penderita saat masih kapabel secara fungsional didepan seorang petugas hukum (pengacara/notaries). Testament kematian ini bisa memberi kekuatan hokum atas tindakan dokter unruk memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan pemberian alat Bantu perpanjangan hidup.
PEMBERIAN PERALATAN PERPANJANGN HIDUP (Life Sustaining Device)
Salah satu aspek etika yang penting dan tetpa controversial dalam pelayanan geriatric adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya perpanjangan hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa muda hal ini sering klai tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup penderita masihj akan berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang “kejam” (futile treatment).
Dikatakan sebagai “kekejaman fisiologik” bila terapi/tindakan yang diberikan tidaka akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada kesehatan penderita. “kekejaman kuantitatif” bila tindakan atau terapi tampaknya tidak ada gunanya. “Kekejaman kualitatif” bila tindakan atau terapi perpanjangn hidup tidak menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup penderita.
Walaupun sering menimbulakan tanggapan emosional dari keluarga, penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi pertimbangan yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang atau tidak. Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi untuk suatu saat menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi.
Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu dihentikan.
PERUMATAN PENDERITA TERMINAL DAN HOSPIS (Shaw, 1984; Kane et al, 1994; Ruben et al, 1996; Pearlman, 1990)
Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa terminal tidak terbatas hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa sebagaian besar merupakan penderita berusia lanjut. Oleh karena itulah perawatan hospis atau erawatan bagi penderita terminal atau menuju kematian merupakan bagian yang penting dari pelayanan geriatri.
Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan, nafas agonal dan keadaan yang jelas ”tidak memberi harapan”, masalhnya mungkin tidak begitu sulit. Akan tetapi pada penderita yang masih sadar penuh, masih mobilitas dengana berbagai fungsi organ masih cukup baik, persoalan etika dan hukum menjadi lebih rumit. Pada penderita ini (misalnya dengan diagnosis karsinoma metastasis lanjut), beberapa hal perlu ditimbangkan :
•
Apakah penderita perlu diberitahu
•
Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah ada hal lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter tetap memaksakan pemberian sotostatika atau tindakan lain ?
Hal-ha seperti diatas merupakan masalah yang kemudian menimbulkan upaya hospis menjadi penting
Dari prinsip otonomi seperti dijelaskan diatas jelas bahwa penderita harus dibertahu keadaan yang sebenarnya. Walaupun di Indonesia, seringkali atas pertimbangan keluarga hal ini sering tidak dilaksanakan.
ASPEK HUKUM DAN ETIKA
Poduk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.
Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954), Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992), Charter for Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994), dan Aged Care Reform Strategy (1996).
Di Amerika Serikat di undangkan Social Security Act yang meliputi older American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI). Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care (1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990).
Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah ditetapkan standardisasi pelaytanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga telah ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care.
Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of Elders (SAGE) dan The Elders’ Village.
LANDASAN HUKUM DI INDONESIA
Berbagai nproduk hokum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah :
1.
Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2.
Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
3.
Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
4.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7.
Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8.
Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9.
Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.]
10.
Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11.
Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan.
14.
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :
a.
Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan kelembagaan.
b.
Upaya pemberdayaan.
c.
Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak potensial.
d.
Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
e.
Perlindungan sosial.
f.
Bantuan sosial.
g.
Koordinasi.
h.
Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
i.
Ketentuan peralihan.
PERMASALAHAN
Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek hokum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut :
1.
Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk hokum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik.
2.
Keterbatasan prasarana
Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II, sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalanya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan.
3.
Keterbatasan sumberdaya Manusia
Terbatasntya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara lain :
a.
Tenaga ahli gerontology
b.
Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist, perawat terlatih.
c.
Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case managers), petugas sosial masyarakat, konselor.
d.
Ahli hukum: sarjana hokum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih, jaksa penunutut umum, hakim terlatih.
e.
Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor.
f.
Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana, mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT terlatih.
4.
Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hokum dan etika yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
a.
Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
b.
Tindak kejahatan (crime)
c.
Pelayanan perlindungan (protective services)
d.
Persetujuan tertulis (informed consent)
e.
Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues)
a.
Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status kesehatan, pelayanan kesehatan, pribadi, hak memutuskan, kepemilikan maupun pendapatannya. Pelaku pelecehan dapat dari pasangan hidup, anak lelaki atau perempuan bila pasangan hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain. Pelecehan atau ditelantarkan dapat berlangsung lama ata8u dapat terjadi reaksi akut, bila suasana sudah tidak tertanggungkan lagi.
Penyebab pelecehan menurut International Institute on Agening (INIA, United Ntions-Malta, 1996) adalah :
Beban orang yang merawat Lanjut usia tersebut sudah terlalu berat.
Kelainan kepribadian dan perilaku Lanjut usia atau keluarganya.
Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya.
Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti :
•
Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia.
•
Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat Lanjut Usia.
•
Konflik lama di antara Lanjut Usia dengan keluarganya.
•
Perilaku psikopat dari Lanjut Usia dan atau keluarganya.
•
Tidak adannya dukungan masyarakat.
•
Keluarga mengalami kehilangan pekerjaan/pemutusan hubungan kerja.
•
Adanya riwayat kekerasan dalam keluarga.
Gejala yanag terlihat pada pelecehan atau ditelantarkan antara lain :
Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas sebabnya, higiena jelek, malnutrisi dan adanya bukti melakukan pengobatan yang tidak benar.
Kelainan perilaku berupa rasa ketakutan yang berlebihan menjadi penurut atau tergantung, menyalahkan diri, menolak bila akan disentuh orang yang melecehkan, memperlihatkan tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain dan adanya kekurangan biaya transpor, biaya berobat atau biaya memperbaikik rumahnya.
Adanya gejala psikis seperti stres, cara mengatasi suatu persoalan secara tidak benar serta cara mengungkapkan rasa salah atau penyesalan yang tidak sesuai, baik dari Lanjut Usia itu sendiri maupun orang yang melecehkan.
Jenis pelecehan dan ditelantarkan adalah :
•
Pelecehan fisik atau menelantarkan fisik.
•
Pelecehan psikis atau melalui tutur kata.
•
Pelanggaran hak.
•
Pengusiran.
•
Pelecehan di bidang materi atau keuangan.
•
Pelecehan seksual.
Upaya pencegahan terhadap terjadinya kelantaran pasif (passive neglect) dan keterlantaran aktif (active neglect) pada lanjut Usia dapat dekelompokan sebagai berikut :
Teryhadap keterlantaran pasif atau tak disengaja:
•
Mendapatkan orang yang di[ercaya untuk melakukan tindakan hukum atau melakukan transaksi keuangan.
•
Mengusahakan bantuan hukum dari seorang pengacara.
Terhadap keterlantaran aktif atau tindak pelecehan:
•
Mengusahakan agar Lanjut Usia tidak terisolir.
•
Anggota keluarga tetap dekat dan memperhatikan Lanjut Usia selalu mendapatkan informasi baik tentang keadaan fisi, emosi, maupiun keadaan keuangan Lanjut Usia tersebut.
•
Orang yang merawat lanjut Usia menyadari keterbatasannya tidak ragu-ragu mencari pertolongan atau melimpahkan tanggung jawaabnya kepada fasilitas yang lebih mampu, manakala mereka tidak sanggup lagi merawatnya.
•
Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap tindak pelecehan kepada Lanjut Usia (neighbourhood watch).
•
Melaksanakan program pelatihan tentang perawatan Lanjut Usia jompo di rumah, pengenalan tanda-tanda terjadinya tidak pelecehan, pemberian bantuan kepada Lanjut Usia, cara melakukan intervensi dan melakukan rujuakn kepada fasilitas yang lebih mampu.
Tindak intervensi bila telah terjadi tindak pelecehan terhadap Lanjut Usia adalah sebagai berikut :
Memberikan dukungan kepada korban pelecehan.
Lanjut Usia di rumah dan panti Tresna Wredha berhak menolak tindakan intervensi tertentu.
Melatih keluarga untuk melaksanakan tindakan pelayanan tertentu.
Memberikan pertolongan dan pengobatan kepada orang yang melecehakan Lanjut Usia tersebut.
Mengajukan tuntutan hukum kepada orang yagn melecehakan Lanjut Usia tersebut.
b.
Tindak kejahatan (crime)
Lanjut usia pada umumnya lebih takut terhadap tindak kejahatan bila dibandingakan dengan ketakutan terhadap penyalit dan pendapatan yang berkurang. Kerugian yang diderita oleh mereka tidak melebihi penderitaan yang dialami oleh kaum muda. Hanya akibat yang ditimbulkan pada Lanjut Usia lebih parah, berupa rasa ketakutan, kesepian, merasa terisolasi dan tidak berdaya.
Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan berupa factor fisik, keuangan dan kedaan lingkungan di sekitar Lanjut Usia tersebut.
Jenis tindak kejahatan adalah:
Penodongan.
Pencurian dan perampokan.
Penjambretan.
Perkosaan.
Penipuan dalam pengobatan penyakit.
Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya, pemborong, sales, dll.
c.
Pelayanan perlindungan (protective services)
Pelayanan perlindungan adalah pelayanan yang dibeikan kepada para Lanjut Usia yang tidak mempu melindungi dirinya terhadap kerugian yang terjadi akibat mereka tidak dapat merawat diri mereka sendiri atau dalam melakukan kiegiatan sehari-hari.
Pelayanan perlindungan bertujuan memberikan perlindungan kepada para Lanjut Usia, agar kerugian yang terjadi ditekan seminimal mungkin. Pelayanan yang diberikan akan menimbulkan keseimbangan di antara kebebasan dan keamanan.
Jenis pelayanan yang diberikan dapat berupa pelayanan medik, sosial atau hukum.
Pelayanan medik:
pelayanan perorangan.
Pelayanan gawat darurat.
Pelayanan berupadukungan guna me-
ningkatkan ADL (activities of daily life).
Pelayanan Sosial:
dukungan sosial.
Bantuan perumahan.
Bantuan keuangan/sembako.
Pelayanan hokum:
bantuan pengacara (power of attorney).
Joint tenancy.
Intervivos trust.
Penunjukan (conservatorship).
Perlindungan (informal guardianship).
d.
Perlindungan hokum
Perlindungan hokum uang dapat diberikan kepada Lanjut Usia dapat berupa:
Bantuan pengacara (power of attorney).
Lanjut Usia harus cukup kompeten untuk mengambil inisitif dalam menyerahkan urusannya kepada orang lain.
Joint Tenancy.
Joint tenancy merupakan suatu produk hokum yang memungkinkan Lanjut Usia lain atau seorang pengacara untuk mengurus urusan seorang Lanjut Usia.
Intervivos trust.
Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang lain sebagai pewaris.
Conservatorship.
Perorangan atau sebuah badan ditunjuk oleh pengadilan untuk melindungi ha milik seorang lanjut usia yang telah dianggap ta sanggup atau inkompeten, pada umumnya bila lanjut usia tersebut berusia lebih dari 75 tahun.
Permohonan suatu Conservatorship biasanya diajukan oleh keluarga atau instansi.
Dengan adanya Conservatorship ini, seorang lanjut usia tak lagi dapat bersuara dan megurus keuangannya serta menentukan tempat tinggalnya atau mengambil suatu keputusan penting lainnya.
Informal guardianship.
Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hokum, akan tetapi meruakan suatu kesepakatan bahwa pelindung bagi lanjut usia tersebut adalah tetangganya, panti atau suatu perusahaan.
e.
Persetujuan tertulis (Informed consent).
Persetujuan tertulis merupakan suatu persetujuan yang diberikan sebelum prosedur atau pengobatan diberikan kepada seorang lanjut usia atau penghuni panti. Syarat yang diperlukan bila seorang lanjut usia memberikan persetujuan ialah ia masih kompeten dan telah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko dari suatu prosedur atau pengobatan tertentu yan g diberikan kepadanya. Bila seoang lanjut usia inkompeten, persetujuan diberikan oleh pelindung atau seorang walui.
f.
Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issue).
Berbagai factor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang yang mempengaruhi kualitas kehidupan lanjuy usia adalah:
Kemajuan ilmu kedoktean di bidang diagnostic seperti CT-scan dan katerisasi jantung, MRI, dsb.
Kemajuan dibidang pengobatan seperti transplatasi organ, raidasi.
Bertambahnya risiko pengobatan.
Biaya pengobatan yang meningkat.
Manfaat pengobatan yang masih diragukan.
Database yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Isu etika muncul bila terjadi suatu pertentangan antara pendapat ilmiah atau ilmu kedokteran dengan pandangan etika atau perikemanusiaan, misalnya :
Untukm mengawali atau melanjutkan pengobatan terhadap lanjut usia yang sakit berat.
Mempertahankan atau melepaskan infuse atau tube feeding.
Melakukan tindakan yang biayanya mahal.
Euthanasia.
Isu euthanasia merupakan isu yang hangat dipertentangan di luar negeri, tetapi belum merupakan hal yang penting di Indonesia, mengingat hal ini bertentangan denagn hokum dan perundang-undangan serta kode etik kedokteran di Indonesia. Di luar negeri keputusan yang diambil berupa :
Keinginan lanjut usia dan keluarganya.
Derajat penderitaan dan derajat gangguan kognitif lanjut usia tersebut.
Prognosa penyakit yang diderita.
Kualitas kehidupan dari lanjut usia.
Perawatan yang sedang diberikan.
Jenis euthanasia yang diberikan adalah active euthanasia (orang luar mempercepat lanjut usia untuk mengakhiri hidupnya) dan passive euthanasia (orang lain atau petugas kesehatan menolak memberikan pertolongan ytertentu kepada penderita terminal)
RANGKUMAN
Dibandungkan dengan keadaan negara maju, hukum perundang-undangan terhadap lanjut usia di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan, antara lain belum adanya undang-undang tentang lanjut usia (Senior Citizen’s Act), elayanan berkelanjutan bagi lanjut usai 9Continuum of Care), tunjangan pelayanan dan peraawatan terhadap lanjut usai (Medicare), hak penghuni panti (Charter of Resident’s Right) dan pelayanan lanjut usia di masyarakat. Keadaaan ini menimbulkan berbagai permasalahn. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tetang kesejahteran lanjut usia merupaan langkah awal guna m3ningkatkan perhatian pemerintah dan masyarakat kepada lanjut usia.
DAFTAR PUSTAKA
•
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
•
SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
•
www.google.com (online) diakses pada tanggal 26 Oktober 2009.
•
Komentar